Tuhan, Dimanakah Keadilan-Mu

1 komentar Rabu, 20 Mei 2009
Aku tidak tahu, mengapa semua jauh dari apa yang aku harapkan. Padahal orang bilang berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian (bersakit-sakit dahulu, keburu mati kemudian, kata Slank … ). Aku hidup sengsara sudah dari kecil. Sekolah SD berjalan kaki dan tidak pernah mengenal sepatu, bahkan ujian akhir aku harus bergabung dengan sekolahan lain yang jaraknya puluhan kilometer.

Apalagi setelah SMP, harus berjalan kaki sejauh 14 kilometer bolak-balik. Berangkat pagi dan pulang sore atau malam hari. Belum lagi rintangan yang harus aku selesaikan. Panas-kepanasan, hujan-kehujanan. Pada musim hujan, dengan perut lapar setiap hari aku harus sabar menunggu banjir surut karena terlalu besar sungai yang harus aku sebrangi, dan tak mungkin menyeberang tanpa pertolongan orang kampung sekitar.

Sewaktu SMA, aku juga harus kost di kota yang jauh dari orang tua. Sebulan sekali aku pulang mengambil bekal. Memanggul beras dengan berjalan kaki puluhan kilometer untuk bekal hidup di kostsan. Uang makan hanya cukup untuk makan minggu pertama saja, tiga minggu berikutnya aku harus makan dengan garam.

Setelah lulus, setahun kemudian aku kuliah dengan keterpaksaan. Aku bilang begitu karena orang tuaku membiayai aku dengan mati-matian. Aku dititipkan pada saudara yang kebetulan rumahnya dekat dengan kampus di mana aku kuliah. Dengan harapan dapat mengirit ongkos dan biaya hidup, namun kondisinya juga sangat memprihatinkan, anaknya banyak. Pernah sekali waktu aku pulang kuliah karena saking lapernya air kobokan aku minum. Aku sangka itu sayur yang tinggal kuahnya, sebab di meja makan tidak ada yang lain.

Kebanggaan seorang mahasiswa yang berpenampilan perlente atau tajir jauh dariku. Jangankan kemewahan alat transportasi seperti kebanggaan anak muda sekarang, sekedar pakaian buat kuliah saja aku harus meminjam pada kakakku dan buntut-buntutnya tidak aku kembalikan karena sudah rusak.

Lima tahun sudah aku jalani perkuliahan ini. Setelah lulus, apa yang aku dapat, kerja di perusahaan yang tidak pernah mau menghargai jerih payah karyawannya. Pernah sekali waktu aku ditawari menjadi cleaning servis. Apalagi perusahaan yang aku tempati sekarang ini. Sudah lima tahun lebih aku bekerja, tetapi gajiku sebagai gaji seorang karyawan baru, bahkan lebih kecil dari gaji karyawan yang paling baru.

Sebagai seorang pemuda, tentu suatu kebanggaan memiliki istri cantik dan pinter mengurus rumah, keturunan yang cakep-cakep dan pintar-pintar, serta mempunyai mertua yang sayang dan perhatian. Tetapi semua itu tidak pernah aku dapatkan. Yang lebih tidak pernah aku mengerti, mengapa aku tidak paham-paham dengan kondisi ini. Padahal kondisi ini sudah aku jalani sejak aku masih kecil. Benarkah semua itu karena hukum alam? Yang miskin tersingkir dan yang kaya berjaya.

Aku tidak tahu ….!!!!
Tolong produser film ”Laskar Pelangi”, buatkan film untukku! Aku yakin akan lebih seru ceritanya.
read more “Tuhan, Dimanakah Keadilan-Mu”