ENOL BESAR

Dengan nada panggilan … HP-ku bunyi. Aku tarik laci dan kubuka pesan yang ada di dalamnya. “Pak, anakmu marah-marah. Datang-datang melempar tas sekolahnya. Dia bilang PR yang ngajari Bapak semalem salah semua. Nilainya nol besar.” kata istriku dalam pesannya. Aku penasaran, “Masa iya sih. Perasaan semalem rumus yang aku terapkan benar.” Kataku dalam hati. Aku jadi ingin cepat-cepat pulang. Tapi tidak mungkin, sebab aku harus lembur sampai jam delapan. Berarti masih sekitar empat atau lima jam lagi.

Waktu terasa lama, mungkin karena aku kepikiran PR tersebut. Setelah jam delapan kurang lima menit, aku mulai merapikan kertas-kertas naskah LKS yang aku kerjakan. Tepat jam delapan aku keluar dari kantor. Sepuluh menit kemudian aku sampai di rumah. Anakku sudah menunggu di depan pintu sambil membawa buku PR-nya. “Ah Bapak … ngajari salah semua.” katanya. Aku tertawa. Buku langsung aku ambil dan aku lihat. Benar adanya, angka nol besar terpampang di situ dengan bulatan-bulatan kecil membentuk wajah manusia.

Aku duduk di lantai dan meminta dia untuk mengambilkan kertas dan pensil. Satu persatu kukerjakan lagi soal-soal itu. Dengan rumus yang berbeda-beda seperti pada contoh sebelumnya, aku hitung satu persatu. Semua jawaban benar. “Bu Guru ngajarinya bagaimana …?” tanyaku. “Ya … begitu.” kata dia. “Lha … kok salah, inikan sama caranya!” kataku. Oleh karena tidak ada jalan keluar, akhirnya aku putuskan untuk membawa ke kerjaan.

Paginya aku datang lebih awal di kantor, dengan harapan bertemu teman yang memang faknya matematika sebelum jam kerja. Aku tunggu dia di depan gerbang kantor di mana aku biasa nongkrong. Tidak lama kemudian dia datang. Belum sempat dia duduk langsung kusodorkan buku yang aku bawa. “Hitung-hitungan begini benar gak sih? Perasaan benar, kok ini disalahin?” kataku. Temanku mulai menghitung. “Ini benar semua Mas, memang kenapa?” tanya dia. Ahirnya aku ceritakan semua kejadian dari awal sampai akhir.

Di dalam kantor aku masih penasaran. Aku takut kalau jawaban bu guru itu memang benar. Sebab sebelum masuk tadi teman-temanku menyarankan agar aku menanyakan ke sekolah. Untuk menambah keyakinan, aku tanyakan juga pada temanku yang lain, baik yang jurusan matematika maupun yang nonmatematika. Setelah semua jawaban sama, siang itu juga jam istirahat aku pergi ke sekolah.

Jam dua belas lewat lima menit aku sampai di sekolah. Motor aku parkir di halaman depan kantor. Aku langsung menaiki tangga ke lantai dua di mana ruang kantor sekolah berada. “Selamat siang, Pak!” kataku waktu nongol di depan pintu. “Selamat siang. Mau bertemu siapa, Pak?” tanya seorang guru perempuan, atau mungkin tepatnya seorang TU. Sebab kulihat dia sedang sibuk menulis walaupun yang lain pada santai. “Bisa bertemu dengan guru wali kelas tiga?” kataku. “Oya, tunggu sebentar ya, Pak aku panggilkan. Silakan duduk dulu.”

Kulihat di sekelilingku. Beberapa guru sedang istirahat sambil menyandar di kursi, dengan sikap acuh. Tanpa disuruh aku duduk, kemudian mengambil koran untuk dibaca. Belum sempat aku membaca, nongol seorang guru perempuan diiringkan seorang perempuan yang tadi mau memanggil. “Ada apa, Pak?” tanya bu guru itu. “Ini, Bu mau nanya …” kataku sambil menyodorkan buku yang sudah aku persiapkan halamannya. Belum selesai aku ngomong, guru itu memotong. “Bisa kita ke kelas saja, Pak?” katanya. “Oh, bisa …” sahutku.

Tanpa ngomong yang lain bu guru itu memutar badan dan menuju ke kelas. Aku membuntuti dia di belakangnya. Setelah kami sampai di dalam kelas, “Anak-anak, sekarang tenang dulu ya. Bu guru lagi ada tamu, jangan berisik!” pesannya pada anak-anak. Setelah keadaan kelas agak tenang, bu guru itu memulai pembicaraan. “Ada apa, Pak?” katanya. Kusodorkan buku yang sudah terbuka halamannya itu ke atas meja. Kemudian kutarik kursi dan duduk di depan samping meja guru itu menghadap padanya. “Ini, Bu. Hitung-hitungan begini salahnya di mana kok nilainya nol?” tanyaku mulai ingin tahu.
Bu guru itu memperhatikan sebentar. Kemudian katanya, “Ini begini, Pak.” katanya mulai menerangkan. “Seumpamanya ada roti dua. Yang satu dibagi tiga, dan yang satu lagi dibagi empat. Kebagiannya gedean yang mana, Pak?” katanya mencoba untuk meyakinkan. “Gedean yang dibagi tiga, Bu.” jawabku. “La … iya, terus kenapa?” katanya. “Tapi kenapa ini tandanya menghadap ke yang lebih kecil?” jawabku. “Sepertiga kan lebih kecil dari seperempat” katanya. “Ya, enggak Bu. Sepertiga lebih besar dari seperempat. Berarti tandanya harus mengahadap ke sepertiga.” kataku. “Ya enggak!” sahutnya. “Terus kalau nulisnya begitu, kalimat matematikanya bagaimana? tanyaku. Dia diam tidak menjawab.

Dalam situasi begitu, dia belum juga mau mengakui kesalahannya. Aku coba kembali untuk menjelaskan dengan rumus yang lain. “Sekarang kita coba dengan rumus yang ada pada contoh ini, Bu. Kita kalikan secara silang. Sepertiga dikalikan seperempat. Satu kali empat sama dengan empat. Dan satu kali tiga sama dengan tiga. Empat dibanding tiga berarti gedean empat. Berarti tandanya menghadap ke empat.” kataku. “Ya enggak, menghadap ke tiga.” katanya. Berkata begitu namun dia tidak menjelaskan apa alasannya. Sepertinya memang belum paham arti tanda lebih besar dan lebih kecil, termasuk tanda sama dengan. Sebab jawaban yang menggunakan tanda sama dengan juga disalahkan.

Sebenarnya aku sudah capai, laper, kesel, dan pengen ketawa melihat guru ini. Namun sekali lagi aku mencoba untuk sabar dan memahamkan guru itu dengan rumus yang lain. “Sekarang kita gunakan rumus dengan menyamakan penyebutnya.” kataku. Kemudian aku berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya menggunakan rumus itu. Ini aku lakukan di papan tulis, layaknya seorang guru. Setelah ketemu jawabannya, dia tahu bahwa itu benar. Namun, sekali lagi dia salah menggunakan tanda lebih besar dan lebih kecilnya.

Oleh karena tidak ada titik temu, akhirnya aku tawarkan solusi untuk pergi ke kantor. Dengan harapan ada pihak ketiga yang bisa membantu. Namun bu guru itu tidak mau, dengan alasan yang tidak jelas. “Bagaimana kalau saya ke rumah Bapak?” katanya menawarkan jalan keluar. “Percuma, Bu sebab di sana tidak ada orang lain yang bisa membantu. Bukannya saya tidak boleh Ibu ke rumah.” kataku. “Bagaimana kalau besuk saya yang ke sini lagi? Mudah-mudahan teman saya ada yang mau menemani ke sini, sehingga dapat membantu.” kataku mencoba untuk mencegah guru itu ke rumah. “Boleh, saya tunggu.” kata guru itu.

Jam dinding sudah menunjukkan jam setengah satu. Aku segera minta pamit. “Maaf, Bu karena sudah siang saya harus kembali ke kantor. Insya Alloh besuk saya ke sini lagi.” kataku. “Oya, Pak silakan. Maaf ya, Pak kalau saya ada kesalahan?” “Nggak apa-apa, manusia memang tempat salah. Jadi wajar kalau ada kesalahan.” jawabku. Akhirnya aku salaman dan pulang.

Sampai di kantor, teman-teman nyamperin aku, pengen tahu bagaimana hasilnya. Aku ceritakan saja semua yang terjadi di sana. Teman-teman pada ketawa. “Bingung kali guru itu.” “Bukan, sebenarnya dia tahu kalau itu salah, cuma malu ngakuinya.” kata temen-temen. Dan masih banyak lagi komentar-komentar yang keluar dari mulut mereka. Setelah puas ngobrolin itu, kami pun kerja kembali.

Jam empat sore aku pulang kerja. Aku tidak ke mana-mana, dan tidak nongkrong dulu karena selain capai memang aku pengen buru-buru pulang dan istirahat. Baru saja aku masuk rumah, anak saya nyamperin dan menyodorkan sebuah amplop. “Amplop dari mana, Jay?” tanyaku. “Dari Bu guru.” jawabnya. Aku tertawa. Buru-buru amplop aku buka. Tepat dugaanku. Setelah aku baca, guru itu mengakui kesalahannya dan minta maaf. “Bu guru ngomong apa, Jay?” tanyaku kemudian. “Nggak, cuma suruh bawa PR-nya, mau dibenerin.” katanya. Pagi harinya, PR itu dibawa ke sekolah. Dan oleh guru itu kemudian yang salah di tip ex dan diganti nilainya.

1 komentar:

Vidzas Erdien mengatakan...

Maaf sebelumnya
Kalo boleh berkomentar!!!
Mas, menurutku yang ini lebih cenderung sekedar pengalaman pribadi, GREGETnya belum ada, belum bernyawa.

Posting Komentar